Fathur dan Dzakiyyah berpose di bandara Frankfurt
Bagian ketiga
Bandara internasional Frankfurt, salah satu tempat yang menyimpan kenangan manis yang tak terlupakan. Pada tanggal 26 Mei 2001 tepatnya hari Sabtu pagi sekitar jam 07.00, 3 tahun yang lalu saya untuk pertama kalinya melihat si buah hati Dzakiyyah yang datang bersama istri tercinta dari tanah kelahiran, Indonesia. Sudahlah lahir tanpa kehadiran saya disisinya, karena pada saat dia dalam kandungan sekitar 6 bulan, Oktober 2000 saya harus memutuskan pergi melanjutkan pendidikan ke Jerman. Sulit memang pilihan pada saat itu, namun akhirnya dengan ketabahan hati pergi juga saya sendiri ke rantau orang. Entah Ayah apa namanya saya waktu itu, yang tega meninggalkan istri yang sedang hamil. Pesawat udara Singapore Airlines, Jakarta-Singapore-Frankfurt pada saat itu yang “memisahkan” kami. Tinggallah istri tercinta dan keluarga di Indonesia menunggu kelahiran sibuah hati untuk suatu saat sampai bisa terbang ke Jerman. Dan akhirnya, alhamdulillah Allah mempertemukan kami di Bandara internasional Franfurt di hari Sabtu itu setelah sibuah hati berumur 4 setengah bulan. Tak terasa ada tetes bening yang keluar dari pelupuk mata dan saya peluk dia erat2.
Lain cerita di pagi Jumat, 24 Juni 2004. Saya dorong trolley yang memuat 4 koper dan Dzakiyyah berdiri didepannya, sementara istri tercinta mendorong trolley yang satunya bersama Fathur mencari counter Malaysia Airlines (MAS). Ternyata cukup jauh juga mendorong trolley sampai akhirnya kita temui counter MAS itu. Sudah ada juga wajah2 melayu yang antri untuk check in, dan kami antri dibelakang salah seorang bapak yang berkopiah dengan jenggot sedikit panjang. Untuk mengisi waktu antri, kami terlibat dalam obrolan ringan sampai akhirnya kita menuju meja antrian. Sedikit berbisik istri saya menyarankan untuk antri ke arah meja yang disebelah kiri, yang disitu pegawainya perempuan bule dan sebelah kanan perempuan wajah melayu. Yang menurut pengamatan singkat istri saya, yang sebelah kiri lebih ramah dan yang kanan cerewet. Saya berusaha mengiyakan, soalnya juga takut ketemu pegawai yang cerewet sementara barang bawaan maksimal cuma 100 kg. Alhamdulillah kita ketemu sama yang bule tersebut, cukup lama juga dia membereskan Gepaeck/baggage dan sambil menulis segala sesuatunya dia bertanya berapa jumlah Gepaeck, dan saya bilang “enam buah plus Kinderwagen dan 2 sisanya dibawa sendiri”. Setelah dia mengukur 3 Gepaeck besar besar langsung dia bilang, “Ok, semuanya bisa masuk!”. Alhamdulillah dia tak menimbang lagi sisanya, mungkin karena kasihan lihat kita dengan 2 anak kecil. Dan kamipun berlalu mencari gate pemberangkatan, kalau ngga salah gate D-7, sambil mempersiapkan pasport untuk pemeriksaan oleh imigrasi setempat. Tentunya kita duduk dulu sebentar sebelum menuju gate pemberangkatan, maklum cape juga antrinya dan waktupun masih cukup untuk istirahat. Kitapun sedikit terlibat dalam diskusi, tentunya soal toilet he..he.., mau cari toilet sekarang atau nanti diatas saja. Akhirnya kita putuskan di atas saja.
Beberapa pintu pemeriksaan kita lalui dan hampir semuanya berbunyi kalau saya yang masuk, seperti biasa pak pemeriksa mengeledah dengan tanggannya untuk memastikan ada apa yang berbunyi. Dan ternyata koin, celana, dan sepatupun berbunyi karena ada bahan logam juga. Dan akhirnya kita sampai ke pintu terakhir untuk pemeriksaan ke-imigrasian. Lama juga pak polisi itu membolak-balik pasport saya dan pasport istri saya. Dan sekali saat dia melihat istri saya dan lalu melihat pasport kembali. Dalam hati saya, pasti dia binggung karena di dalam pasport istri saya tidak berjilbab sedangkan sekarang berjilbab. Karena istri tercinta berjilbab saat setelah berada di Jerman. Akhirnya pak polisi mempersilakan kami masuk. Alhamdulillah.....! Kamipun langsung menuju arah kiri mencari gate D-7 yang ternyata masih kosong melompong. Dalam pikiran rasa terbersit, biar cepat dari pada telat. Dan jadilah kami orang pertamanya yang mengisi gate tersebut.
Dzakiyyah dan Fathur sudah mulai ceria dan mulai aktif kesana kemari, apalagi melihat pesawat yang datang dan pergi dibalik kaca sana. Dzakiyyahpun sering berucap, “Kita ke Indonesia....kita ke Indonesia....”, dengan wajah yang berseri2. Bayangan apa tentang Indonesia yang ada dalam pikirannya, sayapun ngga tahu. Memang sudah lebih dari sebulan sebelum pulang kita berusaha menjelaskan kepada dia bahwa Dzakiyyah, Fathur dan Mama akan diantar ke Indonesia dan Ayah akan kembali sendiri ke Jerman. Hampir tiap hari kita jelaskan kepadanya. Pernah suatu hari dia memergoki kita lagi sedih, dan Dzakiyyah bertanya, “Kok Ayah dan Mama menangis...? Pertanyaan lugu tersebut ngga bisa kita jawab. Langsung saya memeluk dia dan mengendongnya sambil berusaha tegar. Diapun hanya tersenyum senang saat itu. Tak ada sedikitpun air mata keluar, mungkin dia tidak sedih atau dia belum memahami apa yang sedang kami pikirkan. Kembali Dzakiyyah dan Fathur berlari2 kecil menyusuri bangku2 dan sesekali melihat pesawat yang datang dan pergi diluar sana.
Mereka asyik dengan aktivitasnya, sementara mamanya sedang memegang kartu pos kota Frankfurt
“Mama mau beli kartu ngga? Kan kita belum punya kartu kota Frankfurt?”, sapa saya sama istri yang mulai agak siuman dari mabuk mobil. Langsung saja dia semangat mendengar kata kartu, karena dia paling senang mengumpulkan kartu pos kota2 di Jerman. Akhirnya dia minta izin pergi mencari kartu pos kota Frankfurt yang banyak dijual dikios2 didepan sana. Dan saya bermain serta membuat video bersama anak2 dan sekali2 menjempret digital camera ke arah mereka. Namun mereka ngga terlalu peduli karena asyik bermain.
Satu jam lagi, 50 puluh menit, 40 menit dan akhirnya gate D-7 sudah diisi banyak penumpang lain yang akan terbang dengan MAS tujuan Kuala Lumpur. Kitapun duduk dengan memandang ke arah luar dan menanti dipanggil untuk saat disuruh masuk pesawat tuk meninggalkan bandara internasional Frankfurt. Dengan bahasa melayu, Jerman dan Inggris akhirnya kita dipersilakan naik pesawat Boeing 777-200 dan yang paling duluan disuruh adalah yang mempunyai anak kecil. Dengan mengambil ransel yang kuning dan tas laptop hitam kamipun beranjak dari tempat duduk ke arah pintu pesawat. Pramugari dan pramugara dengan sigap menuntun kemi ke arah tempat duduk yang tertulis di boarding pass. Setelah berdoa, saya cium Dzakiyyah, Fathur dan istri tercinta beberapa menit sebelum pesawat meninggalkan bandara yang penuh kenangan ini. Auf Wiedersehen Jerman!!! Pesawat boeing 777-200 dengan gagah bersiap untuk lepas landas dan tidak perduli apa yang sedang kita pikirkan. Sembari memejamkan mata kita kembali berdoa untuk keselamatan dalam perjalanan. Lalu saya tatap mereka satu persatu, Dzakiyyah, Fathur dan istri tercinta. Dan pesawatpun tinggal landas.