Freitag, Januar 23, 2004

Dach

Kemaren ada orang datang keruangan saya. Seperti sudah tradisi, kalo orang disini mau masuk ruangan/bertamu, ketok dua kali..tok..tok..dan tanpa menunggu jawaban dari dalam langsung buka pintu, trus "guten tag!". Datang seorang bertubuh gede dan saya belum pernah lihat sebelumnya. Kalo mitarbeirter diinstitut saya sudah hapal semua. Saya dulu pernah punya pengalaman. Waktu itu saya mau bimbingan ke betreuer/tutor, dan tepat pada jam yang telah disepakati saya pergi menuju ruangannya yang kebetulan ada dilantai dasar (Erdgeschoss). Lalu saya ketok itu pintu, dan tunggu beberapa saat..., trus ketok lagi, tunggu lagi kagak ada yang buka pintu. Kok ngga ada juga yang keluar. Setahu saya kalo di Indonesia kan; ketok pintu tiga kali-tunggu beberapa saat-lalu pintu dibukakan. Saya pikir, biasanya orang jerman puenktlich (tepat waktu). Dan selagi saya berpikir, datang professor pas dihadapan saya. "Herein bitte..!", masuk katanya. Dengan basa-basi saya bilang,"Kirain tadi ngga ada". Dia bilang kita kan sudah janji mau diskusi, dan kalau disini, mau masuk ketok dulu..trus buka saja pintu..., dan ucapakan "guten tag!" Nah, sejak itu baru saya tahu tradisi di Jerman (semua daerah kali yaa?). Dan dengan tersenyum sedikit saya bilang, maklum saya baru di Jerman, jadi belum tahukan?. Nah balik kecerita orang yang datang diatas, ternyata bagian "tukangnya" lah kalo di Indonesia. Katanya dia mau perbaikan dach/loteng. Memang kemaren saya bilang sama teman saya Geert yang bekerja dibagian umum diinstitut saya. Kirain dia langsung yang perbaiki, soalnya ada loteng yang bocor dirungan saya. Eh..ternyata kudu yang jurusan perlotengan pula yang memperbaikinya. Mendingin bocornya banyak, dikiit bangget. Nah itu lah kalo di Jerman, semuanya spesialisasi....Bagus juga sih..

Donnerstag, Januar 22, 2004

46..47..48...

Hari ini saya berangkat agak kesiangan, jam 08.05. Dzakiyyah pun sudah bangun dari tidurnya dan masih sempat nonton Marcelino di TV kesayangannya KI.KA. Kalau ngga salah jadwal Marcelino ini dari Jam 07.30, lalu disambung dengan Musik boxx dan Sesamstrasse. Saya tanya sama Dzakiyyah "nonton apa Nak, abaluga?", karena ada acara anak2 yang dia senangi namanya Tabaluga, cuma dia taunya abaluga. "Nein, ini..ini.., yang sama kayak computeer", sambil menunjuk ke TV. Memang hampir semua acara anak2 di KI.KA dia sudah lihat dulu di websitenya.. Makanya dia sebenarnya lebih senang lihat websitenya dari pada TV sendungen. Ntar kalo dia sudah nonton sebentar, langsung hidupkan komputer sindiri, dan browsing deeh ke sini..... Yah main games, dengarin soundtracknya etc,. Sedangkan Fathur, sampai saya berangkat dia masih boboo, biasanya dia bangun sekitar jam 09.00 oder 10.00. karena dia memang suka tidurnya telat, bisa-bisa sampai jam 11.00 malem baru tidur, makanya bangun kesiangan melulu. Sepuluh menit menjelang Jam bis tiba, pamit.., cium pipi kiri..pipi kanan..kening..dan Assalamualaikum..., turun aufzug..jalan ke halte..dan naik bis....trus sampai di meja kerja tertulis di notes angka 46. Itu tandanya hari ini saya mulai ngebetulin thesis mulai dari halaman 46....dan mudah2an tanggal 29 Januar sudah bisa dikasihin sama professor. Kerja dulu...46...47...48...dst...

Mittwoch, Januar 21, 2004

Al-Bashri dan Gadis Kecil

Online source:Al Islam.or.id

Sore itu Hasan al-Bashri sedang duduk-duduk di teras rumahnya. Rupanya ia sedang bersantai makan angin. Tak lama setelah ia duduk bersantai, lewat jenazah dengan iring-iringan pelayat di belakangnya. Di bawah keranda jenazah yang sedang diusung berjalan gadis kecil sambil terisak-isak. Rambutnya tampak kusust dan terurai, tak beraturan.

Al-Bashri tertarik penampilan gadis kecil tadi. Ia turun dari rumahnya dan turut dalam iring-iringan. Ia berjalan di belakang gadis kecil itu.

Di antara tangisan gadis itu terdengar kata-kata yang menggambarkan kesedihan hatinya.
"Ayah, baru kali ini aku mengalami peristiwa seperti ini."
Hasan al-Bashri menyahut ucapan sang gadis kecil, "Ayahmu juga sebelumnya tak mengalami peristiwa seperti ini."

Keesokan harinya, usai salat subuh, ketika matahari menampakkan dirinya di ufuk timur, sebagaimana biasanya Al-Bashri duduk di teras rumahnya. Sejurus kemudian, gadis kecil kemarin melintas ke arah makan ayahnya. "Gadis kecil yang bijak," gumam Al-Bashri. "Aku akan ikuti gadis kecil itu."

Gadis kecil itu tiba di makan ayahnya. Al-Bashri bersembunyi di balik pohon, mengamati gerak-geriknya secara diam-diam. Gadis kecil itu berjongkok di pinggir gundukan tanah makam. Ia menempelkan pipinya ke atas gundukan tanah itu. Sejurus kemudian, ia meratap dengan kata-kata yang terdengar sekali oleh Al-Bashri.

"Ayah, bagaimana keadaanmu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan tanpa pelipur? Ayah, kemarin malam kunyalakan lampu untukmu, semalam siapa yang menyalakannya untukmu? Kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya, Ayah? Kemarin malam aku masih memijat kaki dan tanganmu, siapa yang memijatmu semalam, Ayah? Kemarin aku yang memberimu minum, siapa yang memberimu minum tadi malam? Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yang satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam, Ayah?"

"Kemarin malam aku yang menyelimuti engkau, siapakah yang menyelimuti engkau semalm, ayah? Ayah, kemarin malam kuperhatikan wajahmu, siapakah yang memperhatikan tadi malam Ayah? Kemarin malam kau memanggilku dan aku menyahut penggilanmu, lantas siapa yang menjawab panggilanmu tadi malam Ayah? Kemarin aku suapi engkau saat kau ingin makan, siapakah yang menyuapimu semalam, Ayah? kemarin malam aku memasakkan aneka macam makanan untukmu Ayah, tadi malam siapa yang memasakkanmu?"

Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan al-Bashri tak tahan menahan tangisnya. Keluarlah ia dari tempat persembunyiannya, lalu menyambut kata-kata gadis kecil itu.

"Hai, gadis kecil! jangan berkata seperti itu. Tetapi, ucapkanlah, "Ayah, kuhadapkan engkau ke arah kiblat, apakah kau masih seperti itu atau telah berubah, Ayah? Kami kafani engkau dengan kafan yang terbaik, masih utuhkan kain kafan itu, atau telah tercbik-cabik, Ayah? Kuletakkan engkau di dalam kubur dengan badan yang utuh, apakah masih demikian, atau cacing tanah telah menyantapmu, ayah?"

"Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati ditanyakan imannya. Ada yang menjawab dan ada juga yang tidak menjawab. Bagaimana dengan engkau, Ayah? Apakah engkau bisa mempertanggungjawabkan imanmu, Ayah? Ataukah, engkau tidak berdaya?"

"Ulama mengatakan bahwa mereka yang mati akan diganti kain kafannya dengan kain kafan dari sorga atau dari neraka. Engkau mendapat kain kafan dari mana, Ayah?"

"Ulama mengatakan bahwa kubur sebagai taman sorga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau terkadang menghimpitnya sebagai tulang-belulang berserakan. Apakah engkau dibelai atau dimarahi, Ayah?"

"Ayah, kata ulama, orang yang dikebumikan menyesal mengapa tidak memperbanyak amal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekanmu ataukah karena amal baikmu yang sedikit, Ayah?"

"Jika kupanggil, engkau selelu menyahut. Kini aku memanggilmu di atas gundukan kuburmu, lalu mengapa aku tak bisa mendengar sahutanmu, Ayah?"

"Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tidak bisa menemuimu lagi hingga hari kiamat nanti. Wahai Allah, janganlah Kau rintangi pertemuanku dengan ayahku di akhirat nanti."

Gadis kecil itu menengok kepada Hasan al-Bashri seraya berkata, "Betapa indah ratapanmu kepada ayahku. Betapa baik bimbingan yang telah kuterima. Engkau ingatkan aku dari lelap lalai."

Kemudian, Hasan al-Bashri dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sembari berderai tangis.

Sumber: Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah, Tim Poliyama Widya Pustaka

Dienstag, Januar 20, 2004

Lukman Hakim dan Keledai

Online source:Al Islam.or.id

Lukman Hakim memerintahkan anaknya mengambil seekor keledai. Sang anak memenuhinya dan membawanya ke hariban sang ayah. Lukman menaiki keledai itu dan memerintahkan anaknya untuk menuntun keledai.

Keduanya berjalan melewati kerumunan orang banyak. Tiba-tiba orang-orang mengecam seraya berkata, "Anak kecil itu berjalan kaki, sedangkan orang-tuanya nangkring di atas keledai, alangkah kejam dan kasarnya ia." Lukman bertanya kepada anaknya, "Bagaimana tanggapan orang-orang wahai anakku?" Sang anak menyampaikan tanggapan mereka.

Kemudian, Lukman turun menuntun keledai. Sang anak ganti menaiki keledai. Keduanya lalu berjalan melewati keramaian di tempat lain. Tiba-tiba mereka mencemooh sang anak seraya berkata, "Anak muda itu menaiki keledai, sedangkan orang tuanya berjalan kaki, alangkah jelek dan kurang ajar sang anak." Lukman bertanya kepada anaknya, "Bagaimana tanggapan orang-orang wahai anakku?"
Sang anak menyampaikan tanggapan mereka.

Kemudian, Lukman dan anaknya sama-sama menaiki keledai berboncengan. Keduanya melewati keramaian di tempat lain, tiba-tiba orang-orang mencerca keduanya seraya berkata, "Betapa kejam kedua orang itu, mereka menaiki seekor keledai, padahal mereka tidak sakit, dan tidak pula lemah." Lukman bertanya kepada anaknya, "Bagaimana tanggapan orang-orang wahai anakku?"
Sang anak menyampaikan tanggapan mereka.

Akhirnya, Lukman dan anaknya turun dari keledai. Keduanya berjalan kaki sambil menuntunnya melewati keramaian di tempat lain. Tiba-tiba orang-orang mengecam seraca berkata, "Subhanallah... seekor himar yang sehat dan kuat berjalan? sementara kedua orang itu berjalan menuntunnya, alangkah baiknya jika salah satu dari mereka menaikinya." Lukman bertanya kepada anaknya, "Bagaimana tanggapan orang-orang wahai anakku?"
Sang anak menyampaikan tanggapan mereka.

Kemudian, Lukman menasihati anaknya: "Wahai anakku, bukankah aku telah berkata kepadamu, kerjakanlah pekerjaan yang membuat engkau menjadi saleh dan janganlah menghiraukan orang lain. Dengan peristiwa ini saya hanya ingin memberi pelajaran kepadamu."

Sumber: Didaptasi dari, Luqmanul Hakim wa-Hikaamuhu, Ali bin Hasan al-Athas