Donnerstag, Juli 15, 2004

DAA-DBL


Fathur dan Dzakiyyah berpose di bandara Frankfurt


Bagian ketiga
Bandara internasional Frankfurt, salah satu tempat yang menyimpan kenangan manis yang tak terlupakan. Pada tanggal 26 Mei 2001 tepatnya hari Sabtu pagi sekitar jam 07.00, 3 tahun yang lalu saya untuk pertama kalinya melihat si buah hati Dzakiyyah yang datang bersama istri tercinta dari tanah kelahiran, Indonesia. Sudahlah lahir tanpa kehadiran saya disisinya, karena pada saat dia dalam kandungan sekitar 6 bulan, Oktober 2000 saya harus memutuskan pergi melanjutkan pendidikan ke Jerman. Sulit memang pilihan pada saat itu, namun akhirnya dengan ketabahan hati pergi juga saya sendiri ke rantau orang. Entah Ayah apa namanya saya waktu itu, yang tega meninggalkan istri yang sedang hamil. Pesawat udara Singapore Airlines, Jakarta-Singapore-Frankfurt pada saat itu yang “memisahkan” kami. Tinggallah istri tercinta dan keluarga di Indonesia menunggu kelahiran sibuah hati untuk suatu saat sampai bisa terbang ke Jerman. Dan akhirnya, alhamdulillah Allah mempertemukan kami di Bandara internasional Franfurt di hari Sabtu itu setelah sibuah hati berumur 4 setengah bulan. Tak terasa ada tetes bening yang keluar dari pelupuk mata dan saya peluk dia erat2.

Lain cerita di pagi Jumat, 24 Juni 2004. Saya dorong trolley yang memuat 4 koper dan Dzakiyyah berdiri didepannya, sementara istri tercinta mendorong trolley yang satunya bersama Fathur mencari counter Malaysia Airlines (MAS). Ternyata cukup jauh juga mendorong trolley sampai akhirnya kita temui counter MAS itu. Sudah ada juga wajah2 melayu yang antri untuk check in, dan kami antri dibelakang salah seorang bapak yang berkopiah dengan jenggot sedikit panjang. Untuk mengisi waktu antri, kami terlibat dalam obrolan ringan sampai akhirnya kita menuju meja antrian. Sedikit berbisik istri saya menyarankan untuk antri ke arah meja yang disebelah kiri, yang disitu pegawainya perempuan bule dan sebelah kanan perempuan wajah melayu. Yang menurut pengamatan singkat istri saya, yang sebelah kiri lebih ramah dan yang kanan cerewet. Saya berusaha mengiyakan, soalnya juga takut ketemu pegawai yang cerewet sementara barang bawaan maksimal cuma 100 kg. Alhamdulillah kita ketemu sama yang bule tersebut, cukup lama juga dia membereskan Gepaeck/baggage dan sambil menulis segala sesuatunya dia bertanya berapa jumlah Gepaeck, dan saya bilang “enam buah plus Kinderwagen dan 2 sisanya dibawa sendiri”. Setelah dia mengukur 3 Gepaeck besar besar langsung dia bilang, “Ok, semuanya bisa masuk!”. Alhamdulillah dia tak menimbang lagi sisanya, mungkin karena kasihan lihat kita dengan 2 anak kecil. Dan kamipun berlalu mencari gate pemberangkatan, kalau ngga salah gate D-7, sambil mempersiapkan pasport untuk pemeriksaan oleh imigrasi setempat. Tentunya kita duduk dulu sebentar sebelum menuju gate pemberangkatan, maklum cape juga antrinya dan waktupun masih cukup untuk istirahat. Kitapun sedikit terlibat dalam diskusi, tentunya soal toilet he..he.., mau cari toilet sekarang atau nanti diatas saja. Akhirnya kita putuskan di atas saja.

Beberapa pintu pemeriksaan kita lalui dan hampir semuanya berbunyi kalau saya yang masuk, seperti biasa pak pemeriksa mengeledah dengan tanggannya untuk memastikan ada apa yang berbunyi. Dan ternyata koin, celana, dan sepatupun berbunyi karena ada bahan logam juga. Dan akhirnya kita sampai ke pintu terakhir untuk pemeriksaan ke-imigrasian. Lama juga pak polisi itu membolak-balik pasport saya dan pasport istri saya. Dan sekali saat dia melihat istri saya dan lalu melihat pasport kembali. Dalam hati saya, pasti dia binggung karena di dalam pasport istri saya tidak berjilbab sedangkan sekarang berjilbab. Karena istri tercinta berjilbab saat setelah berada di Jerman. Akhirnya pak polisi mempersilakan kami masuk. Alhamdulillah.....! Kamipun langsung menuju arah kiri mencari gate D-7 yang ternyata masih kosong melompong. Dalam pikiran rasa terbersit, biar cepat dari pada telat. Dan jadilah kami orang pertamanya yang mengisi gate tersebut.

Dzakiyyah dan Fathur sudah mulai ceria dan mulai aktif kesana kemari, apalagi melihat pesawat yang datang dan pergi dibalik kaca sana. Dzakiyyahpun sering berucap, “Kita ke Indonesia....kita ke Indonesia....”, dengan wajah yang berseri2. Bayangan apa tentang Indonesia yang ada dalam pikirannya, sayapun ngga tahu. Memang sudah lebih dari sebulan sebelum pulang kita berusaha menjelaskan kepada dia bahwa Dzakiyyah, Fathur dan Mama akan diantar ke Indonesia dan Ayah akan kembali sendiri ke Jerman. Hampir tiap hari kita jelaskan kepadanya. Pernah suatu hari dia memergoki kita lagi sedih, dan Dzakiyyah bertanya, “Kok Ayah dan Mama menangis...? Pertanyaan lugu tersebut ngga bisa kita jawab. Langsung saya memeluk dia dan mengendongnya sambil berusaha tegar. Diapun hanya tersenyum senang saat itu. Tak ada sedikitpun air mata keluar, mungkin dia tidak sedih atau dia belum memahami apa yang sedang kami pikirkan. Kembali Dzakiyyah dan Fathur berlari2 kecil menyusuri bangku2 dan sesekali melihat pesawat yang datang dan pergi diluar sana.


Mereka asyik dengan aktivitasnya, sementara mamanya sedang memegang kartu pos kota Frankfurt



“Mama mau beli kartu ngga? Kan kita belum punya kartu kota Frankfurt?”, sapa saya sama istri yang mulai agak siuman dari mabuk mobil. Langsung saja dia semangat mendengar kata kartu, karena dia paling senang mengumpulkan kartu pos kota2 di Jerman. Akhirnya dia minta izin pergi mencari kartu pos kota Frankfurt yang banyak dijual dikios2 didepan sana. Dan saya bermain serta membuat video bersama anak2 dan sekali2 menjempret digital camera ke arah mereka. Namun mereka ngga terlalu peduli karena asyik bermain.

Satu jam lagi, 50 puluh menit, 40 menit dan akhirnya gate D-7 sudah diisi banyak penumpang lain yang akan terbang dengan MAS tujuan Kuala Lumpur. Kitapun duduk dengan memandang ke arah luar dan menanti dipanggil untuk saat disuruh masuk pesawat tuk meninggalkan bandara internasional Frankfurt. Dengan bahasa melayu, Jerman dan Inggris akhirnya kita dipersilakan naik pesawat Boeing 777-200 dan yang paling duluan disuruh adalah yang mempunyai anak kecil. Dengan mengambil ransel yang kuning dan tas laptop hitam kamipun beranjak dari tempat duduk ke arah pintu pesawat. Pramugari dan pramugara dengan sigap menuntun kemi ke arah tempat duduk yang tertulis di boarding pass. Setelah berdoa, saya cium Dzakiyyah, Fathur dan istri tercinta beberapa menit sebelum pesawat meninggalkan bandara yang penuh kenangan ini. Auf Wiedersehen Jerman!!! Pesawat boeing 777-200 dengan gagah bersiap untuk lepas landas dan tidak perduli apa yang sedang kita pikirkan. Sembari memejamkan mata kita kembali berdoa untuk keselamatan dalam perjalanan. Lalu saya tatap mereka satu persatu, Dzakiyyah, Fathur dan istri tercinta. Dan pesawatpun tinggal landas.


Mittwoch, Juli 14, 2004

DAA-DBL


Windkraft-pembangkit listrik tenaga udara disepanjang jalan


Bagian kedua
Minibus perlahan meninggalkan kota menuju arah Autobahn atau jalan tol. Fathur yang duduk sendiri di Kindersitz tak sedikitpun terganggu tidurnya walau hari sudah mulai beranjak siang. Dzakiyyahpun mulai teduh raut mukanya pertanda dia siap untuk melanjutkan tidur yang sempat terbangun saat digendong tadi. Sambil berkata manja pada mamanya dia minta disayang. “Mama... sayang ayuk!”, celetuknya sambil berusaha menggapai tangan mamanya yang terhalang oleh Fathur yang memisahkan mereka. Biasanya kalau minta disayang, maksudnya adalah dibelai dan cara ini sangat ampuh untuk membuatnya tidur. Namun mamanya tak menyanggupi karena disamping terhalang jarak, juga mamanya paling ngga fit kalau lagi dalam perjalanan dan dia juga berusaha tidur agar terhindar dari mabuk. Berulang kali Dzakiyyah mengharap, tapi tetap saja dibiarkan sampai dia tertidur dengan sendirinya. Mobil terus melaju dan tinggal saya dan pak sopir yang terbangun. Untuk menghilangkan kejenuhan dalam perjalanan saya buka tas video kamera dan mengeluarkan isinya untuk mengambil moment disepanjang jalan. Kota Hildesheim dan Goettingen sudah dilalui dan sebentar lagi akan memasuki Kassel. Tampak rerumputan dan pepohonan yang hijau serta tanaman gandum yang siap panen di sisi2 jalan. Dan jarak berselang terlihat dengan kokohnya baling2 pembangkit listrik tenaga udara yang memang banyak terlihat di tengah2 tanaman gandum. Ini menambah indahnya pemandangan ditengah kehijauan. Sesekali video kamera saya arahkan ke wajah kecil nan lugu Dzakiyyah dan Fathur yang duduk di bangku tengah bersama mamanya. Masih terlelap mereka dengan mimpi masing2. Dzakiyyah dengan kepala sedikit terkulai kekanan dan tangan bebas serta kali menjulur kedepan. Rambut panjangnya yang terikat sedikit menjadi bantal untuk tidurnya. Sementara Fathur dengan sigap berada dalam ikatan tempat duduk yang memang khusus buat anak seumurnya. Mamanya yang berjacke hitam memejamkam mata, entah tidur atau hanya memejamkan mata biar terhindar dari serangan pening dan mabuk perjalanan.

Setelah terlihat Dzakiyyah mulai membuka mata, langsung saja saya sapa, “Dzakiyyah mau minum atau mau roti?”, sambil menatap wajahnya dengan tersenyum. Dengan singkat dia menjawab, “Ayuk mau minum aja”. Langsung saya bukakan capri sonne kesukaannya yang memang sudah disiapkan untuk perjalanan ini dan memberikan padanya. Dengan sedikit membungkukkan badan dia berusaha menggapai minuman tersebut dan meraihnya. Satu sachet 200 ml tersebut langsung ludes dan bungkusnya dia berikan sama mamanya. Sekali lagi saya tawarkan roti buat dia dan mamanya, ternyata selera makan pagi mereka terganggu juga dengan perjalanan ini. Ok, lah..yang penting mereka mau minum itu sudah syukur. Sekedar pengisi perut kosong yang belum sempat makan pagi.

“Ayah..! itu bagus”, kata Dzakiyyah sambil menunjuk generator pembangkit listrik tenaga udara di kejauhan. Perlahan saya ikuti arah telunjuknya dan sama2 kita menatap generator yang rapi berdiri dan berputar perlahan diterpa angin ladang gandum. Memang Dzakiyyah paling senang kalau lihat pemandangan ini. Dengan sedikit berputar dia berusaha melihat tonggak tinggi tersebut sampai hilang diterkam tikungan jalan. “Nanti ada lagi Dzakiyyah!”, kata saya berusaha menghiburnya. Dan memang, tak lama kemudian pemandangan itu ada lagi walau dengan jumlah dan jarak yang berbeda. Dia terus mengamati, walau kantuknya kelihatan masih ada.

Sekali2 radio yang memonitor jalannya minibus terdengar. Sopirnya selalu menanyakan arah mana yang paling cepat dan supaya terhindar dari macet atau perbaikan jalan. Percakapan demi percakapan di radio terkadang jelas terdengar kadang hanya desahnya saja. Pertanyaanpun sering diulang2, karena kelihatannya diseberang sana agak lambat merespon. “Terus saja dan masuk dari arah selatan Frankfurt”, begitu kira2 suara dari seberang sana yang memberikan arah terbaik agar tidak macet. Mobil terus meluncur ke arah selatan. Kota Fuldapun sudah dilewati pertanda sebentar lagi akan memasuki kota Frankfurt (am Main).

Mulailah tampak arah jalan Flughafen (lapangan udara) yang menandakan tak lama lagi kita akan sampai ke pintu pesawat. “Mit welche Flugzeuge fahren Sie?”, tanya pak sopir sama saya. Dengan yakin saya bilang, “Dengan MAS dari terminal 2”. Langsung saja minibus diarahkan ke terminal 2. Dan berhenti di paling ujung diterminal tersebut. Waktu menunjukkan sekitar jam 09.30, berarti perjalanan sekitar 3 setengah jam. Sementara penerbangan dijadwalkan tepat pukul 12.30. Bearti kita masih punya cukup waktu untuk istirahat.

Setelah barang sebanyak 8 keping diturunkan dan bersalaman dengan sopir sambil mengucapkan danke...!! dankeschoen!! Dengan tersenyum pak sopir bilang “gute reise!”. Lalu saya masuk terminal untuk mencari trolley. Dua trolley yang dibawa. Cukup repot juga mengangkat koper2 tsb, dan sambil berpikir gimana cara mendorongnya, karena mamanya anak2 juga sedang menggendong Fathur. Akhirnya Fathur disuruh jalan, dan kita berdua mendorong trolley menuju terminal 2 dan langsung tujuan utama adalah tempat duduk untuk rehat sebentar.....

Montag, Juli 12, 2004

Di atas awan di bawah langit (DAA-DBL)

Bagian pertama
Jum’at pagi pukul 06.00 tgl 24 Juni 2004 sebuah minibus dari FAL telah menunggu di pelataran appartment Rebenring 63 untuk mengantarkan keluarga kecil kami menuju pintu penerbangan Frankfurt yang berjarak sekitar 3 jam dari Braunschweig. Terlalu pagi untuk ukuran anak2 bangun pada jam segini, dengan susah payah saya beserta istri tercinta memasang pakaian Dzakiyyah dan Fathur yang masih terlena dengan mimpi2 mereka, mungkin mimpi bermain dengan teman2nya. Karena waktu yang sedikit tak sempat pula kami berdiskusi tentang mimpi putra-putri kami ini. Padahal kalau waktu sedikit luang kita selalu berdiskusi dan terkadang ketawa dan tersenyum melihat mereka terlelap dan apa lagi saat bahagia menunggu mereka bangun dengan wajah tersenyum. Tapi tidak untuk pagi itu, semua harus serba cepat karena minibus yang sudah dipesan sebulan lalu sudah menunggu dibawah, begitu kata salah seorang teman yang sedang membantu membawa barang dari lt. 8 appartment kami tepatnya zimmer no. 30. Ada juga salah seorang teman baik dan sekalian tetangga dari Mesir yang sejak setengah jam lalu dengan setia membantu segala sesuatunya, namun tidak dengan istri dan anak2nya. Padahal istri dia adalah sohib istri saya yang setiap hari ketemu saat sama2 mengantarkan anak2 ke Kindergarten yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari appartment kami tinggal. Sambil kecapean mengangkut barang ke pintu lift teman tersebut bercerita bahwa istrinya ngga bisa ngantarin lantaran dia sekarang sedang sedih dan menangis. Yang menurut dia juga dia merasa kehilangan salah seorang teman baik yang akan pulang ke Indonesia dan entah kapan ketemu lagi, begitu tuturnya. Saya hanya tersenyum dan sambil berucap, semoga Allah bisa mempertemukan keluarga kita kembali. Segala kesan dan pesan dari istrinya tersebut langsung juga dceritakan pada kita yang membuat kita terharu dan kami juga menyampaikan ucapan terima kasih atas pertemanan baik yang selama ini terjalin. Tentunya tukar-menukar alamat kita lakukan sebagai alternatif silaturrahmi tentunya, walau itu nantinya hanya lewat internet.


Dzakiyyah bersama Frau Tifach dan Frau Gabe saat hari terakhir di KinderGarten

Fathur pun sempat berpose di KinderGartennya Dzakiyyah dengan latar belakang tempat tas dan Jacke

Empat koper besar ditambah 2 tas jinjing dan 2 tas ransel semua telah tersusun rapi di bagian belakang minibus. Setelah berdoa bersama keluarga demi keselamatan di perjalanan saya kembali melihat semua ruangan yang akan ditinggalkan, melihat apakah sudah semua barang terangkut dan kondisi rumah serta lampu dan juga untuk mengamati sudut2 rumah ukuran 33 meter kuadrat ini yang penuh dengan kenangan kita ber-empat. Tak ada secuil sudutpun terhindar dari tatapan, dan mereka hanya membisu melihat kepergian kami. Dalam hati kami bergejolak dan berusaha menahan rasa haru sambil melangkah dan terus melangkah meninggalkan ruangan dan pintu serta berlalu menuju lift. Tak ada kata diantara kita berempat, semua terhenyak dalam pikiran masing2. Dan sebelum sampai ke lantai dasar, Dzakiyyah terbangun dalam pelukan dan langsung tersenyum. Entah apa arti senyumnya itu, atau dia sudah paham arti pulang ke Indonesia yang sudah jauh2 hari kita katakan ini atau tidak. Namun dari mulut mungilnya dia berkata, ke Indonesia...pulang ke Indonesia...! Dari raut wajah yang belum 100% bangun dari tidur ini saya tatap dalam2 dan mencoba merasakan dan mencoba membayangkan apa yang dia bayangkan. Entahlah, sama atau tidak...Sementara si kecil Fathur masih melanjutkan mimpinya didalam gendongan mamanya sampai ke dalam mobil.

Setelah menyalami dan memeluk erat teman2 yang turut mengatar kami masuk ke dalam minibus sebagai tanda akan mengakhiri tapak kenangan di Braunschweig yang telah kami jalani bersama2 lebih dari 3 tahun lamanya. Baik dalam duka maupun dalam suka. Lambaian tangan masih juga mengantarkan sampai ke titik dimana kita tak bisa memandang teman2 setia tadi karena terhalang tembok appartment yang menjulang tinggi. Tak sempat saya melihat raut wajah istri saat detik2 terakhir meninggalkan Braunschweig karena saya pun larut dalam perasaan sedih dan sedih yang mendalam. Dan melajulah minibus menuju arah Frankfurt.